Tag

, , , , , ,

Dimuat di majalah Stabilitas, Juni 2008.

Industri asuransi hadir karena adanya risiko. Fungsi risk transfer dan risk sharing yang dijalankan asuransi, menjadikan aktifitas keseharian perusahaan asuransi adalah mengelola risiko pihak lain.

Namun tidak seperti di perbankan, tidak semua perusahaan asuransi mempunyai unit manajemen risiko. Beberapa tahun yang lalu, adanya unit manajemen risiko di perusahaan asuransi umum difungsikan sebagai unit yang melakukan survey risiko objek yang akan dijamin/dipertanggungkan.

Dalam perspektif holistik, pelaksanaan survey adalah bagian dari proses manajemen risiko underwriting. Survey juga merupakan aplikasi prinsip kehati-hatian (prudent underwriting) yang selalu menjadi paradigma para underwriter. Jika tidak, klaim bisa membengkak.

Namun demikian tidak hanya itu risiko dalam perusahaan asuransi. Kini berkembang, unit manajemen risiko punya tugas tidak hanya memotret risiko objek asuransi, namun juga bertanggung jawab mengelolah semua risiko yang dihadapi perusahaan asuransi itu sendiri.

Adanya pergeseran pemahaman pengelolaan risiko ini beranjak dari kesadaran bahwa risiko yang dihadapi perusahaan asuransi bukan sekedar risiko terjadinya klaim. Menghadapi klaim itu hal biasa.

Menurut pedoman dari Departemen Keuangan, setidaknya ada tujuh risiko utama yakni risiko sebagai penanggung/penanggung ulang, risiko reputasi, risiko pasar, risiko investasi, risiko likuiditas, risiko bencana alam, dan risiko legal. Risiko-risiko tersebut jika tidak dikelolah dengan tepat, akan sangat mengganggu operasional perusahaan.

Fokus Risiko sebagai Penanggung

Risiko sebagai penanggung menjadi fokus keseharian karena fungsi perusahaan asuransi adalah menjamin risiko pihak lain. Risiko tersebut harus dikendalikan. Sebagaimana diketahui, kontrol risiko terdiri dari menghindari, meminimalisir, menahan dan memindahkan risiko.

Tiga cara kontrol risiko di atas bisa dilakukan sekaligus. Namun, menghindari risiko tidak mungkin dilakukan karena fungsi perusahaan asuransi justru menanggung risiko pihak lain.

Kontrol risiko ini dimulai dari proses underwriting (seleksi risiko) hingga pascapembayaran klaim. Perusahaan asuransi bisa mereduksi risiko dengan cara proses seleksi risiko yang lebih ketat (prudent underwriting). Perlu kebijakan underwriting dan underwriter yang mumpuni untuk melakukan proses ini.

Kebijakan underwriting ketat memang bagus, tetapi perusahaan asuransi tetap butuh premi. Kebijakan underwriting ketat dan target premi perlu titik ekuilibrium. Pemilihan underwriter bersertifikat adalah upaya real meminimalkan risiko.

Dalam proses underwriting inilah, pada ‘zaman dulu’ ditempatkan unit yang disebut unit manajemen risiko. Unit ini bertugas melakukan survey atas objek pertanggungan yang akan dijamin asuransinya. Dari hasil survey diketahui lebih pasti kondisi objek yang digunakan untuk menentukan kondisi pertanggungan asuransi bagaimana yang paling tepat. Di industri asuransi jiwa, tes kesehatan sebelum aplikasi diterima adalah salah satu jenis kontrol risiko.

Selanjutnya, sebelum perusahaan asuransi menjamin risiko, melakukan kalkulasi seberapa besar mampu menahan risiko. Jika dirasa risiko sangat besar, bahkan di luar kemampuan (retensi), maka perusahaan asuransi akan mereasuransikan (mengasuransikan kembali) kepada perusahaan reasuransi (reasuradur).

Perlunya back-up reasuransi ini dilakukan agar jika terjadi klaim, maka perusahaan asuransi masih sanggup membayarnya. Juga agar tidak sampai mengganggu likuiditas perusahaan. Ini adalah bentuk kontrol risiko dengan cara memindahkan sebagian risiko ke reasuradur (spreading of risks).

Ketika proses underwriting selesai dan perusahaan asuransi bersedia menjamin risiko pemegang polis (tertanggung), maka mulailah risiko sebagai penanggung berjalan. Kontrol risiko belum berhenti. Perusahaan asuransi tetap harus memantau apakah syarat-syarat & kondisi (terms & conditions) polis, khususnya berkenaan dengan janji (warranties) dipenuhi apa tidak oleh tertanggung.

Dampak risiko sebagai penanggung adalah ketika terjadi klaim. Namun, tidak berarti setelah terjadi klaim, proses manajemen risiko berhenti. Manajemen risiko harus tetap jalan melalui tiga jalan. Pertama, harus dilihat apakah perusahaan asuransi wajib membayar atau klaim ditolak karena tidak sesuai jaminan di polis.

Harus diketahui secara pasti apakah penyebab kerugian dijamin atau tidak di polis. Apakah tertanggung juga telah memenuhi kewajiban yang tercantum di polis? Jika setelah diteliti, tuntutan tidak claimable, maka perusahaan asuransi tidak wajib mengganti klaim.

Kedua, apabila perusahaan suransi wajib mengganti, maka harus dihitung berapa besar penggantian. Terlalu besar penggantian, pasti merugikan perusahaan asuransi. Jika terlalu kecil, maka yang dirugikan adalah pemegang polis. Perhitungan harus dilakukan secara teliti. Untuk di industri asuransi umum, aktifitas ini bisa dilakukan oleh loss adjuster yang bertindak independen.

Ketiga, pascapembayaran klaim, apabila kerugian yang diderita tertanggung disebabkan kesalahan pihak lain, perusahaan asuransi mempunyai hak menuntut (hak subrogasi) pihak lain tersebut untuk mengganti kerugian. Perusahaan asuransi bisa mendapatkan recovery sehingga mengurangi kerugan yang dideritanya.

Mengelolah Risiko Katastropik

Bencana adalah jenis risiko katastropik. Penyebabnya bisa karena faktor manusia (man-made disaster) atau bencana alam (natural catastrophe). Bencana katastropik menimbulkan kerusakan parah dan korban jiwa yang besar. Umumnya mencakup wilayah yang luas.

Dukungan reasuransi harus mempertimbangkan jika terjadi bencana. Meskipun ada dukungan reasuransi, saat terjadi bencana, kerugian bisa lebih besar dari dukungan reasuransi yang dipunyai perusahaan asuransi. Akibatnya, kelebihan kerugian akan ditanggung oleh perusahaan asuransi. Ini sangat berbahaya.

Beberapa bencana alam yang tergolong katastropik adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, badai/topan, kecelakaan reaktor nuklir, dll. Gempa bumiJogjakarta, tsunami Aceh, letusan gunung Krakatau dan Tambora adalah sebagian contoh jenis risiko katastropik yang pernah terjadi diIndonesia. Negeri ini memang sangat rentan terhadap gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi. Belum lagi bencana yang dipengaruhi ulah manusia seperti banjir.

Prediksi tingkat keparahan kerugian sebisa mungkin dikalkulasi secara akurat. Jika terlalu rendah, kerugian bisa jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Jika perkiraan terlalu tinggi, maka perusahaan asuransi terlalu besar mencari dukungan reasuransi, yang berarti terlalu banyak premi reasuransi yang dibelanjakan.

Industri asuransi di negara maju sudah terbiasa menggunakan catastrophe modelling. Program komputer ini mampu memprediksi tingkat kerugian suatu bencana, termasuk prediksi seberapa besar klaim perusahaan asuransi. Namun akurasi program ini juga mendapatkan kritik tajam tatkala tak mampu berbuat banyak akibat badai Katrina, Wilma dan Rita di Amerika dan sekitarnya tahun 2005. Kerugian industri asuransi akibat ketiga badai ini melebihi US$ 90 milyar.

Manajemen risiko katastropik juga bisa dilakukan melalui upaya preventif. Perlu dukungan peran pemerintah dan penyadaran masyarakat. Pemerintah, misalnya, mengatur penggunaan lahan dan menegakkan aturan secara tegas agar tidak ada pelanggaran yang berujung pada bencana.

Sering juga dilupakan bahwa industri asuransi dapat sangat berperan dalam mereduksi bencana. Perusahaan asuransi bisa berkontribusi bagaimana memahamkan bahkan melatih masyarakat dalam mengurangi peluang terjadi bencana dan dalam menghadapi bencana. Adaupaya-upaya pre- & post-disaster. Ini dilakukan sebagai ikhtiar menyelamatkan manusia dan harta benda saat bencana. Sekaligus untuk mereduksi klaim asuransi.

Setiap tahapan dari proses akseptasi hingga klaim di perusahaan asuransi, butuh manajemen risiko. Belum lagi, risiko-risiko non-operasional yang jika salah kelola bisa menjadi meruntuhkan perusahaan asuransi.